Friday, April 15, 2016

Aku dan Buku

Aku, terlahir dari keluarga yang memiliki berbagai macam buku tentang agama. Ayah dan ibu bukan tokoh ternama di bidang itu, namun mempelajari buku agama membuat bersemangat. Aku sendiri mulai belajar mengeja tulisan di bangku TK.

Yang pasti, meskipun aku lupa, aku sudah bisa lancar membaca sewaktu SD. Selama menjadi siswa SD N Pandean Lamper 05 Semarang, aku tidak pernah membaca buku selain buku paket pelajaran di sekolah dan Al-quran. Aku ingat sekali, pertama kali aku memegang novel dan komik, adalah saat liburan menjelang pendaftaran SMP tahun 2010. Saat itu, aku bingung akan aku isi dengan kegiatan apa liburan panjang menanti pengumuman pandaftaran SMP. Lalu aku pergi dengan ayahku ke toko buku bekas yang biasa dikenal orang dengan nama “kawasan stadion”. Buku novel yang aku beli bertema agama yang telah diangkat ke layar lebar yaitu Dalam Mihrab Cinta.

Karena tuntutan keadaan, aku pun menjajali semua novel. Ada alasan mengapa aku memilih novel dari buku lainnya. Yang pertama karena tidak mengandung rumus matematika. Kedua, novel berisi cerita yang bervariasi. Aku pun mulai mengenal perpustakaan daerah di kota Semarang, perpustakaan Sri Rejeki yang didirikan oleh suatu yayasan, dan aku juga meminjam novel dari kakak, teman, dan semua orang yang aku kenal.

Suatu hari, aku meminjam sebuah novel dari kakak sepupuku. Berbeda dengan novel yang baru aku kenal, yang notabene tebal dan mempunyai lebar 10-15 cm. Novel ini berukuran setengah dari novwel biasanya. Saat memasuki bagian pengenalan masalah, aku merasa sangat terkejut. Diceritakan ada 4 orang sahabat yang duduk di bangku kuliah. Mereka adalah orang orang frustasi yang melakukan seks bebas, minuman beralkohol, narkoba, dan kegiatan negatif lainnya. Aku tidak pernah tahu menahu tentang seks sebelumnya. Aku merasa kamarku menjadi sempit untuk bernafas, dan keringat dingin mulai muncul. Akhirnya, aku menyembunyikan buku itu di bawah kasurku karena ketakutan.

Selanjutnya, aku mencoba beralih ke novel lain. Novel yang berisi tentang pendidikan, cerita anak sekolah, behkan tentang orang orang yang kurang mampu. Tetapi, aku tidak bisa fokus. Aku terlalu penasaran untuk mengetahui apa yang terjadi selanjutnya pada tokoh novel yang aku pinjam dari sepupuku. Setelah mengecek keadaan rumah sudah kosong, aku pun membacanya hingga tuntas. Aku merasa puas telah mengetahui isi novel dengan sempurna, cemas kalau aku ketahuan membaca buku seperti itu, bingung apa yang akan aku lakukan, geli dengan kelakuanku.

Kakakku bilang ia mendapat novel itu dari temannya. Ia sendiri mengaku belum membaca isinya. Mungkin seandainya dia sudah tahu, dia tidak akan meminjamkan novel itu kepada adiknya.

Setelah itu, aku pun mulai membaca novel yang bertema tentang cinta. Romance. Awalnya menyenangkan namun semakin lama semakin membosankan. Aku mencari sensasi membaca buku seperti saat aku membaca novel porno itu. Buku apa? Aku lebih memilih menminjam buku di perpustakaan, daripada harus membelinya. Di sinilah kecintaanku terhadap novel-novel misteri mulai muncul. Namun, bukan misteri seperti hantu atau setan. Lebih seperti misteri pembunuhan dan penyelidikan. Sebut saja novel The Da Vinci Code. Yang bercerita tentang penyelidikan misteri kematiaan oleh Dr. Langdon dan Sophia.

Saat aku sudah memasuki bangku SMP, aku tetap melanjutkan hobiku membaca novel dengan genre misteri. Sampai lulus SMP dan mendaftar SMA, aku tetap membaca novel-novel seperti itu. Hingga berbagai hal menarik dari pelajaran SMA membuat aku ingin mengetahui segala hal. Segalanya. Aku menjadi murid terajin ke perpustakaan SMA N 11 Semarang hingga mendapat penghargaan dari sekolah. Aku menyukai hal hal yang berbau biologi, sejarah, dan sastra. Aku mulai mencari buku penelitian. Aku sadar bahwa wawasan ku terbuka lewat buku. Penelitian seperti apa benar Nabi Sulaiman yang membangun candi Borobudur hingga penelitian tentang DNA menarik perhatianku. Cerita dari Irak, Iran, yang merupakan negara penuh konflik tapi juga mempunyai kekuatan besar. Dan juga kisah para penemu, legenda dan ilmuwan dunia.


 Aku mulai mengenal beberapa penulis yang karyanya menjadi favoritku. Namun, aku tidak menolak untuk membaca buku karya penulis lain. Aku juga menyisihkan uang untuk membeli buku saat pameran berlangsung. Aku bahagia dikelilingi banyak buku. Dan jika bertemu dengan buku yang berbau seks, aku akan mengimbanginya dengan membaca buku agama. Karena sudah selayaknya, aku mengambil amanat positif dari sebuah buku dan melupakan sisi negatifnya. 


 Lomba ini diikutsertakan dalam lomba menulis di blog Mukhofasalfikri.com dengan tema menulis pengalaman membaca.

Timeline_Cover_doNotRename55

Monday, December 28, 2015

kegagalan pendidikan moral anak-anak

Kegagalan pendidikan moral terhadap anak anak
Di Indonesia, ada berbagai jenis orang yang hidup, beragam jenis pula pendidikan yang mereka tanamkan pada diri anak-anak mereka. pendidikan yang mereka berikan, bisa dari lingkungan, pengalaman hidup, ekonomi, tingkat SDM yang mereka miliki. Saya akan memberikan sebuah kisah. kisah nyata tentang keresahan terhadap masa depan anak anak yang hidup di lingkungan di mana dia dibesarkan. 

Saya adalah salah seorang warga Semarang . Tepatnya, rumah saya ada di RT04 . Lingkungan tempat tinggal saya merupakan lingkungan yang cukup baik. Ada kerukunan antar tetangga, ada anak anak yang bermain dan belajar secara seimbang, remaja di sini pun masih aktif berorganisasi. Sekitar 3 minggu yang lalu, RT 04 digegerkan oleh seorang bocah kecil yang bersepeda. Bocah laki laki itu berumur sekitar 6 sampai 7 tahun.  Awalnya, warga di sini tidak peduli dengan kehadiran bocah itu. Namun ternyata bocah itu adalah anak yang memiliki perilaku berbeda dengan anak anak lainnya.  Anak ini bukanlah tuyul, atau makhluk gaib lain yang konon mempunyai kekuatan tertentu. Anak ini benar benar anak kecil yang tidak bersekolah, masih kecil, dan tidak terurus.

Dia telah mencuri uang di rumah salah seorang warga kami, Siska, saat siang hari. Setelah ditelusuri, ternyata anak itu adalah anak yang bertempat tinggal di RT 02. Warga yang mengetahui kejadian itu pun langsung bertindak tegas. Kami membawa anak itu pulang ke rumah ibunya, tanpa mengalami kekerasan sedikitpun. Semua rangkaian kejadian pencurian uang itu telah dilaporkan kepada ibunya. Saya tidak begitu mengetahui bagaimana tanggapan ibunya setelah itu, tapi saya berharap sekali dengan mengembalikan anak itu kepada kedua orang tuanya, anak itu akan berubah.

Nyatanya, 2 minggu lalu anak itu kembali. Sama seperti kejadian di Siska, dia mencuri lagi. Pencurian kali ini sungguh menarik perhatian saya, karena terjadi di rumah tetangga depan rumah saya. Oleh sebab itu, saya juga meningkatkan kewaspadaan rumah. Anak itu pun dibawa ke ketua RT untuk ditindaklanjuti. Saya mengetahui segala informasi pencurian itu dari ibu saya. Anak itu mencuri uang sebanyak Rp 300.000,00 dari dompet tetangga saya. Padahal, dompet itu ditaruh di dalam kamar. Anak itu masuk saat tetangga saya sedang memasak di dapur. Kebetulan, tetangga yang mengetahui anak itu masuk, mengira bahwa anak itu adalah teman anak tetangga saya. Tetangga sekitar rumah saya belum mengetahui bahwa anak ini adalah anak yang mencuri di rumah Siska. Yang membuat para tetangga heran adalah anak itu hanya mengambil uang saja, sedangkan di dekat dompet itu ada tablet, handphone, dan barang barang yang lebih mahal lainnya. Yang diambil pun hanya uang yang ada di dalam dompet, tetapi dompet dan kartu yang lain dikembalikan ke tempat semula. Usut punya usut, ternyata anak ini telah dilaporkan ke kepolisian sebanyak 3 kali dengan kasus yang sama. Berita ini saya dapat dari teman saya yang tinggal sekitar 250 m dari RT kami. Saya juga mengetahui bahwa ibunya pun tidak memperhatikan anaknya. Kemana perginya anak itu bemain, bagaimana pergaulannya, orang tuanya tidak mau tahu.

Saat arisan bapak bapak diselenggarakan, Pak RT mendatangkan seorang polisi untuk dimintai pertanggungjawaban anak ini. Dan polisi pun menanggapi kasus ini demi kenyamanan masyarakat.. Akhirnya ketua RT kami membuat perjanjian damai dengan catatan kalau anak itu melakukan hal itu d lingkungan RT 04 sekali lagi, maka warga Rt 04 yang akan menindaklanjuti sendiri. Dan, ketua RT akan segera menyebarluaskan foto anak ini ke semua warga, agar warga selalu waspada jika anak ini masuk ke lingkungan RT 04 lagi.
Kita bisa melihat kejadian sebagai suatu kegagalan pendidikan moral yang dialami oleh bangsa Indonesia. Saya tidak bermaksud melebih-lebihkan tentang kejahatan yang dilakukan anak ini. Kita bahas mulai dari awal kejadian ini. 

Menurut penelitian Pada tahun 1982, V. Campbell dan R. Obligasi diusulkan berikut sebagai faktor utama dalam mempengaruhi karakter dan perkembangan moral: faktor keturunan, pengalaman masa kanak-kanak, pemodelan oleh orang dewasa yang lebih tua penting dan remaja, pengaruh teman sebaya, lingkungan fisik dan sosial secara umum, media komunikasi, apa yang diajarkan di sekolah-sekolah dan lembaga lain, dan situasi spesifik dan peran yang menimbulkan perilaku yang sesuai.
Hal ini yang dapat dijadikan pedoman, bahwa pembentukan karakter anak ini didapat dari lingkungan tempat dia tinggal. Seorang anak kecil akan meniru perbuatan yang dilihatnya. Maka setidaknya pencurian yang dilakukan anak ini juga hasil dari proses meniru perbuatan orang orang yang dia kenal di lingkungannya. Faktor ini juga yang meyebabkan ia tidak merasa bersalah melakukan semua ini. Saat kita masih kecil, kita belum bisa menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Kita mengetahui hal hal yang benar dan salah melalui serangkaian kejadian yang terjadi dalam hidup kita.  Anak ini juga menganggap bahwa perbuatan yang dia lakukan tidak salah. Di pikirannya mungkin terdapat sebuah ungkapan “ kalau orang lain melakukan, mengapa aku tidak melakukan? Maka ini yang harus saya lakukan.” Kesalahan yang sering dilakukan oleh orang-orang adalah memarahinya habis habisan, bahkan mungkin sedikit melakukan tindakan fisik. Semakin dia menerima penghinaan, dia akan semakin melawan. Hal yang paling tepat adalah memberinya pembinaan. 

Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 menjelaskan negara akan mengurus anak terlantar dan fakir miskin. Saya juga kurang tahu bagaimana kriteria anak terlantar yang dimaksudkan dalam pasal ini, apakah anak yang terlantar adalah anak yang makan dan tidur di bawah lampu merah? Bagaimana dengan anak ini? Jika memang anak ini tidak terlantar, mana mungkin dia mencari uang lewat pencurian? Haruskah kita menunggu 10 tahun kemudian, sampai anak ini melakukan kejahatan yang benar benar tidak dapat ditoleransi lagi hingga dia dipenjara? Kita harus mencegahnya sebelum anak ini berubah sebagai seorang penjahat kelas kakap yang melakukan segalanya untuk bertahan hidup tanpa memperdulikan orang lain.  Jika memang anak ini masih di bawah umur, maka orang tuanyalah yang bertanggung jawab menerima hukuman. Pasti ada orang yang mengajarinya, bahkan menyuruhnya melakukan perbuatan ini. Seharusnya ada pengendalian dari orang tua saat anak nya melakukan kejahatan ini. Atau setidaknya anak ini ditempatkan di panti rehailitasi, panti asuhan atau tempat pembinaan lainnya yang dikelola oleh negara. Ironis sekali, kejahatan yang sudah tertanam di dalam anak ini dibiarkan berkembang. Saya yakin selama ini, ketika dia dilaporkan ke kantor polisi, dia telah mendapatkan pelajaran. Namun, karena tidak adanya dukungan dari lingkungan sekitar dia kembali melanjutkan aksinya.

Dalam hukum, anak ini bersalah. Namun, dalam hal kemasyarakatan anak ini tidak bersalah. Dia tumbuh di dalam lingkungan yang tidak baik, dibesarkan dengan cara yang tidak baik pula. Anak ini hanya mencari kasih sayang,perhatian, dan cinta yang tidak ia dapatkan di lingkungannya. Mungkin dengan dia mendapatkan uang lewat pencurian dia akan dihargai dan disanjung karena berhasil melakukan misinya.


Saya tidak menyalahkan siapapun dalam hal ini. Saya bahkan menyalahkan diri saya sendiri karena tidak dapat membantu anak ini menjadi lebih baik. Saya mengharapkan menemukan suatu cara terbaik dalam menghadapi masalah ini. Bayangkan kalau semakin banyak anak yang melakukan ini, maka akan semakin banyak juga kerusakan dan masalah masalah yang akan kita hadapi di masa mendatang. Maka dari itu, menanamkan pendidikan yang baik dalam jiwa anak ini sangatlah oenting. Pendidikan yang paling utama berasal dari keluarga. Saya mengharapkan semua orang sadar, bahwa semua orang harus menanamkan moral yang baik kepada generasi penerus bangsa. Tidak perlu mendirikan sebuah yayasan, menggalang dana agar anak ini bisa sekolah, atau melakukan hal hal besar yang terasa berat. Ingatlah pada tanggung jawab kita. Orang tua bertanggung jawab pada masa depan anak, kakak kepada adik, teman kepada teman, guru kepada murid, dan hubungan masyarakat lainnya. Jika satu orang memberi pendidikan baik kepada satu orang saja, maka saya yakin seluruh dunia akan saling bertanggung jawab dan menanamkan moral yang baik.